Pengasuh:KH. BADRIL MUNIR
KH. AGUS MASRUCHIN BADRI
Alamat:JL. JEMBER SETAIL GENTENG-BWI
Propinsi:Jawa_Timur
Contact:Telp:0333 846382
Fax:
Email:
Website:
Keterangan:Menerima:Putra-Putri
Deskripsi:Pesantren Raudlatut Thalabah Setail (RTS) berdiri sekitar tahun 1950 yang didirikan Oleh KH. Badril Munir. Dan sekarang diteruskan oleh KH. Agus Masruchin Badri
لاَ يُؤْمِنُوْ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُؤْمِنَا بِمُحَمَّدٍ صَلَّى للّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
BISMILLAHI WA 'ALA MILLATI WA SUNNATI ROSULILLAH
ALLOHUMMA SHOLLI 'ALA SYAIDINA MUHAMMADIN NURI DZATI WA SIRRI SARI SIRRUHU SARIYYAN BIJAMI'IL ASMA WA SIFAT
ALLOHUMMA SHOLLI 'ALA SYAIDINA MUHAMMADIN WA 'ALA ALIHI WA SHOHBIHI WASALLIM TASLIMAN KATSIRO

Sabtu, 12 Maret 2011

Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq Rodiyallahu’ anhu

Abu Bakar (bahasa Arab: أبو بكر الصديق, Abu Bakr ash-Shiddiq) (lahir: 572 – wafat: 23 Agustus634/21 Jumadil Akhir 13 H) termasuk di antara mereka yang paling awal memeluk Islam. Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama Khulafaur Rasyidin pada tahun 632. Ia bernama asli Abdullah bin Abi Quhafah.
Abu Bakar adalah ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW.
Nama sebenarnya yaitu  Abdul Ka’bah (artinya “hamba Ka’bah”), yang kemudian diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah (artinya “hamba Allah”).
Nabi Muhammad SAW juga memberinya gelar Ash-Shiddiq (artinya: Yang berkata benar), sehingga ia lebih dikenal dengan nama “Abu Bakar Ash-Shiddiq”.
Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah ibn ‘Uthman ibn Amir ibn Amru ibn Ka’ab ibn Sa’ad ibn Taim ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ai ibn Ghalib ibn Fihr Al-Quraishi At-Tamimi.
KARAKTER FISIK DAN AKHLAK BELIAU
Abu Bakar adalah orang yang bertubuh kurus, berkulit putih. ‘Aisyah menerangkan karakter bapaknya, “Beliau berkulit putih, kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggangnya (sehingga kainnya selalu turun dari pinggangnya), wajahnya selalu berkeringat, hitam warna matanya, berkening lebar, tidak bisa bersaja’ dan selalu mewarnai jenggotnya dengan innai maupun katam.”
ERA BERSAMA NABI
Ketika Rasulullah SAW menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, Rasulullah SAW pindah dan hidup dengannya. Pada saat itu Rasulullah menjadi tetangga Abu Bakar. Sama seperti rumah Khadijah, rumahnya juga bertingkat dua dan mewah. Sejak saat itu mereka berkenalan satu sama lainnya. Mereka berdua berusia sama, pedagang dan ahli berdagang.
MEMELUK ISLAM
Istri Abu Bakar — Qutaylah binti Abdul Uzza — tidak menerima Islam sebagai agamanya sehingga Abu Bakar menceraikannya. Istrinya yang lain, Um Ruman, menjadi Muslimah. Juga semua anaknya, kecuali ‘Abdur Rahman ibn Abu Bakar, menerima Islam. Sehingga ia dan ‘Abdur Rahman berpisah.
Masuk Islamnya Abu Bakar berpengaruh besar dalam Islam. Teman-teman dekatnya diajak untuk masuk Islam. Mereka yang masuk Islam karena diajak oleh Abu Bakar adalah :
  • Utsman bin Affan (yang akan menjadi Khalifah ketiga)
  • Az-Zubair
  • Talhah
  • Abdur Rahman bin Auf
  • Sa`ad ibn Abi Waqqas
  • Umar ibn Masoan
  • Abu Ubaidah ibn Al-Jarrah
  • Abdullah bin Abdul Asad
  • Abu Salma
  • Khalid bin Sa`id
  • Abu Hudhaifah bin Al-Mughirah
PENYIKSAAN OLEH QURAISY
Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Abu Bakar juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka.
Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan.
Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.
MENJADI KHALIFAH
Selama masa sakit Rasulullah SAW, saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar ditunjuk untuk menjadi imam shalat menggantikannya.
Banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematian Rasulullah, dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam.
Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah adalah subyek yang sangat kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, di mana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi’ah.
Di satu sisi kaum Syi’ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu Nabi Muhammad) yang menjadi pemimpin dan ini dipercayai sebagai keputusan Rasulullah SAW sendiri. Sementara kaum Sunni berpendapat bahwa Rasulullah SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum Sunni berargumen bahwa Rasulullah mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin.
Muslim Syi’ah berpendapat kalau Rasulullah SAW dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dan lain-lain, tidak pernah meninggalkan umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terakhir. Dan juga banyak hadits di Sunni maupun Syi’ah tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah SAW, serta jumlah pemimpin Islam yang dua belas.
Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai’at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan).
Kaum Sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Sementara kaum Syi’ah menggambarkan bahwa Ali melakukan bai’at tersebut secara proforma, mengingat beliau berbai’at setelah sepeninggal Fatimah istri beliau yang berbulan-bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.
PERANG RIDDA
Segera setelah suksesi Abu Bakar, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada Khalifah baru dan sistem yang ada.
Beberapa di antaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi.
Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama Perang Ridda. Dalam Perang Ridda, peperangan terbesar adalah memerangi “Ibnu Habib Al-Hanafi” yang lebih dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai Nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW. Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.
EKSPEDISI ke UTARA
Setelah menstabilkan keadaan internal dan secara penuh menguasai Arab, Abu Bakar memerintahkan para jenderal Islam melawan Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Sassanid. Khalid bin Walid menaklukkan Irak dengan mudah sementara ekspedisi ke Suriah juga meraih sukses.
PELESTARIAN Al-QUR’AN
Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al-Qur’an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal Al-Qur’an yang ikut tewas dalam pertempuran.
Umar lantas meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan koleksi dari Al-Qur’an. Oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, mulailah dikumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an dari para penghafal Al-Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya. Setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan oleh Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khaththab dan kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Utsman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks Al-Qur’an hingga yang dikenal hingga saat ini.
CINTA ABU BAKAR UNTUK AL-MUSTHAFA
Wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat. Betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar:
“Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua.”
Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar:
“Janganlah engkau kira, kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah.”
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya.
Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa.
Sedangkan untuk lelaki tampan yang kini dekat di sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya.
Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama.
Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu.
Sungguh, ia tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraish.
Yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya.
Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya.
Ia hanya takut   Muhammad, ya Muhammad.. mereka membunuh Muhammad.
***
Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban mempesona itu bukan sebuah kebohongan.
Abu Bakar memandang wajah syahdu Rasulullah di depannya dalam hening.
Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama.
Aduhai betapa ia mencintai putra Abdullah.
Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua.
Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta…
Sejurus  kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar.
Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna.
Tak ada yang dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan kedua pahanya.
Mata Rasulullah terpejam.
Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah.
Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirahat diam di pangkuannya.
Sebuah asa mengalun dalam hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu Bakar yang sangat dekat.
Abu Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia menatapnya lagi.
Tak jenuh, tak bosan.
Dan seketika wajah Abu Bakar muram. Ia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung di wajah Abu bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak.
“Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan siapapun mengganggumu.”
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Abu Bakar menyandarkan punggung di dinding gua. Rasulullah, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman Rasulullah.
Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih itu. Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam.
Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini,” Suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu ke mana pun,” Potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?”
“Seekor ular baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat.”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak,“Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” Jawab Abu Bakar sendu.
Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air matanya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.
Saat itu air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Al-Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah.
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang seperti mu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi balasan.”
Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah pencipta semesta, Nabi mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya.
Maha suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu. Nabi masih memandangnya sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia indah sepertimu. Bagaimana mungkin?” Nyaring hati Abu Bakar kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.
***
Kita pasti tahu siapa Abu Bakar. Ia adalah lelaki pertama yang memeluk Islam dan juga salah satu sahabat terdekat Rasulullah. Dari lembar sejarah, kita kenang cinta Abu Bakar kepada Al-Musthafa menyemesta. Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani Rasulullah berhijrah menuju Madinah dan harus menginap di Gua Tsur selama tiga malam. Menemani Nabi untuk berhijrah adalah perjalanan penuh rintang. Ia sungguh tahu akibat yang akan digenggamnya jika misi ini gagal. Namun karena cinta yang berkelindan di kedalaman hatinya begitu besar, Abu Bakar dengan sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi pergi.
Dia terkenal karena teguh pendirian, berhati lembut, mempunyai iman yang kokoh dan bijaksana. Kekokohan imannya terlihat ketika Madinah kelabu karena satu kabar, Nabi yang Ummi telah kembali kepada Yang Maha Tinggi. Banyak manusia terlunta dan larut dalam lara yang sempurna. Bahkan Umar murka dan tidak mempercayai kenyataan yang ada. Saat itu Abu Bakar tampil mengingatkan seluruh sahabat dan menggaungkan satu khutbah yang mahsyur
“Ketahuilah, siapa yang menyembah Muhammad, maka ia telah meninggal dunia.  dan siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati”.
Kepergian sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan dalam dadanya. Ketiadaan Rasulullah, juga tak memadamkan gebyar semangat untuk terus menegakkan pilar-pilar Islam yang telah dipancangkan. Pada saat menjabat khalifah pertama, ia dengan gigih memerangi mereka yang enggan berzakat. Tidak sampai di situ. Munculnya beberapa orang yang mengaku sebagi nabi, sang khalifah juga berlaku sama yaitu mengirimkan pasukan untuk mengajak mereka kembali kepada kebenaran. Sesungguhnya pribadi Abu Bakar adalah lemah lembut, namun ketika kemungkaran berada di hadapannya, ia berlaku sangat tegas dalam memberantasnya.
Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat perang atas bangsa Romawi di Yarmuk berkecamuk dengan kemenangan di tangan Muslim. Sebelum wafat, ia menetapkan Umar sebagai penggantinya. Jenazahnya dikebumikan di sebelah manusia yang paling dicintainya, yaitu makam Rasulullah SAW. Hidup Abu Bakar berhenti sampai di sana. Namun selanjutnya manusia yang menurut Rasulullah menjadi salah seorang yang dijamin masuk surga, terus saja mengharumkan sejarah sampai detik sekarang. Ia mencintai Nabinya melebihi dirinya sendiri. Tidakkah itu mempesona?
KEMATIAN
Abu Bakar meninggal pada tanggal 23 Agustus 634 di Madinah pada usia 63 tahun. Abu Bakar dimakamkan di rumah Aisyah di dekat masjid Nabawi, di samping makam Rasulullah SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PPRT SETAIL

Loading